Aku terjungkal karena lontaran kalimatmu, mestinya tak
pantas kau lakukan itu. Kenapa kamu tega mematikan kreativitasku? Kuhela nafas
panjang menahan amarah. Kutengok kamar anak bungsungku, takut ia mendengar
geramanku.
Kembali dengan pengembaraanku. Dulu kau begitu lugu berjanji
untuk siap sedia berhidmah bersamaku. Mengurai kebekuan, merenda harapan. Berjanji
akan menunjjukkan pada dunia sebuah karya kita, Tentang inovasi tiada henti demi
kemajuan tunas-tunas bangsa.
Aku jadi muak mengingat itu. Ribuan untaian kata mutiaramu
laksana ceceran kotoran kambing yang mengering. Bah… Kau memang tengik. Bagaimana
aku tidak muntah? Sumpah serapah tak keluar dari mulutku, kau sudah mesti
bersyukur.
“Maaf…sekali maaf..ini akan jadi pelajaran berharga bagiku.
Lain kali aku takkan ceroboh lagi.” Begitu mohonmu. Aku diam tak menyahut.
Perih sekali lukaku ini.
‘Tega sekali kau membunuh kepercayaanku.” Protesku. Kau
menunduk penuh penyesalan sedang aku hanya terdiam sampai akhirnya kau pamit
pulang.
Kubaca lagi sms
yang menjadi sumber kekecewaanku padamu. Kuulang berkali-kali artikel yang
kuposting minggu kemarin di sebuah journal online. Artikel yang membuat namaku
melambung karena mencapai hit spektakuler di luar dugaan sebelumnya. “Ini kan
tulisan biasa.” Jeritku dalam hati. Catatan tentang kenyataan zaman yang berubah
cepat tak disertai pengembangan mental ( sosial emosial ) penghuninya. Tentang
budaya dekadensi moral yang mengerikan. Semua serba biasa, hanya ungkapan
kekhawatiran dan harapan ke depan kepada anak-anak bangsa. Kuulangi lagi dari
awal berkali-kali sampai akhirnya aku hapal. Keherananku masih belum terhapus :
“Di mana letak kalimat celaanku ?”
Semalaman aku tak bisa tidur. Berpikir keras menemukan
jawaban itu. Dari kejuhan sayup –sayup terdengar suara adzan, rupanya subuh
telah menjelang. Segera kuambil wudhu dan segera bergabung bersama jama’ah
lain. Dalam khusu’ do’aku ku dapat jawaban yang mencerahkan. Ya, aku mulai
teringat kejadian dua tahun lalu. Ketika orang itu mengikuti sebuah diklat untuk
mendapatkan sertifikat profesinya. Ia kandas ditengah jalan lantaran gangguan
emosinya. Sejak itu ia ditetapkan sebagai penderita sensi tingkat tinggi. Suka melamun dan berbicara sendiri.
Keinginannya harus segera dituruti dan kadang aneh-aneh mebuat dia tercatat
sebagai pasien di klinik kejiwaan.
Astaghfirullahal Adziim, rupanya aku telah terbawa emosi
oleh tuduhan dari seorang yang
sebetulnya butuh perhatian dan kasih sayangku. Mengapa aku tanggapi dengan
balik menyerang?
Pagi harinya, kembali kau menemuiku, meminta maaf untuk
kesekalian kali sambil tetap berjanji untuk tidak mengulangi perkataanmu lagi,
meski niatmu bergurau. Aku tahu kau pun tidak sadar kalau yang kau omongi adalah orang dengan kepribadian
labil. Tak sadar air mataku menggenang, betapa aku telah menganiaya hatimu.
Betapa kejamnya aku menaruh dendam padamu. Kujabat erat tanganmu. Kita kembali
tersenyum.
“Dasar, OOT…. Orang gitu dicandain…?” Olokku. Tapi kau nampak
begitu ikhlas menerimanya. Karena kau menyadari lontaran candamu salah sasaran.
Kita kembali terbahak-bahak, teringat bagaimana mimik orang itu mendengar
candamu padanya : “ Nih, kisah sejatimu ditulis Icha di sini,” Canda yang
membuat ia terluka. Canda yang membuat ia kambuh pada penyakit lamanya, canda
yang membawa petaka. Semoga tidak terulang.
Saya agak kurang paham loh mbak. Ini cerita rekaan, curhat teman atu curhat mbak Diah.
BalasHapusSaya lagi pusing banget karena email hilang dan semua monetize blog yang saya bangun hilang dalam sekejab. masih pula dikatakan pembawa sial.
Namanya juga fiksi asal
Hapusasal tulis, asal pencet keyboard
Hi...hi...
pembawa suwal (BAJU)kalee...
Makasaih ya mbak..
Met mecar-cari aja, moga berhasil
senyummu bahagiaku
BalasHapuslukamu perihku
candamu riangku
diammu mampusku
oh...
hahahaha mas Anam merdu banget tuh suaranya
HapusTapi aku ga dengar ap-apa.....he...
HapusOh ini fiksi toh...?? Tapi Saya curiga...apa orang yang dimaksud adalah orang yang diatas sana....??? :D
HapusHa...ha....
HapusDilarang suudzon
:)]:)]:)]:)]:)]
BalasHapusMemahami... itulah kata kunci dari cerita ini..
BalasHapusKita kerap melakukan pertengkaran lantaran tidak memahami apa sebenarnya terjadi.
Maka, seperti yang dilagukan Sherina, "lihat lebih dekat", kita memang patut melakukannya, sebelum terlibat lebih jauh dalam sebuah kesalahpahaman :)
Sepakat....
HapusKadang kita juga sulit berdamai dengan keadaan
Sampai akhirnya petaka itu datang
Makasih Vizon,
komentmu mencerahkan
sepakat dengan mas Vizon nih.."lihat lebih dekat" bisa mengurangi kesalahpahaman sesuatu...
Hapusdalam fiksi imajinasi memang tak terbatas...salam Bu Icha..
Suka-suka yang nafsirin deh
Hapusiya ya mba,
BalasHapussering banget deh klo udah becandaan bablas
duh :(
udahannya baru nyesel.
Apalagi yang dicandain orang lagi terganggu kesehatan emosinya
BalasHapusberabe deh....
Malam...
ini beneran atau fiksi ya... tapi ceritanya bagus... memang harus pintar pintar untuk bicara sama orang ya.. biar tidak sakit hati.
BalasHapusMemangnya cerita apa...
Hapusbener, papak ora podo ho...ho...
jujur aku belum bisa memahami... hhmm... kayaknya harus dibaca ulang
BalasHapusPokoknya sampai hapal...
Hapuskalau masih belum paham berarti yang nulis cerita telah GAGAL
Saleum,
BalasHapusGimana tuh soalnya aku paling suka becanda. Mudah2an aja orang yang pernah jadi korban candaanku gak sakit ati.
Wah, mesti hati-hati sekarang...
HapusWah, kudu ati2 becanda nih
BalasHapusTapi kalau sama saya dijamin bebas tanpa hambatan xixixi..
HapusKadang kita butuh mengenali karakter orang dulu mbak Icha, biar kita bisa menentukan momentum yang tepat saat bercanda dengan mereka
BalasHapusJadi penasaran siapakah orangnya? apakah saya :))
Coba diinget-inget mas Lozz pernah ngomong apa
HapusMesti ikut nih, makasih infonya ya
BalasHapusSemenanjung Persia menyapa...................!Selamat pagi Jepara,Mas Anam,Sist Icha dan semua pembaca...salam berbahagia.
BalasHapus