Rabu, 29 Februari 2012

Candamu Petakaku


Aku terjungkal karena lontaran kalimatmu, mestinya tak pantas kau lakukan itu. Kenapa kamu tega mematikan kreativitasku? Kuhela nafas panjang menahan amarah. Kutengok kamar anak bungsungku, takut ia mendengar geramanku.

Kembali dengan pengembaraanku. Dulu kau begitu lugu berjanji untuk siap sedia berhidmah bersamaku. Mengurai kebekuan, merenda harapan. Berjanji akan menunjjukkan pada dunia sebuah karya kita, Tentang inovasi tiada henti demi kemajuan tunas-tunas bangsa.

Aku jadi muak mengingat itu. Ribuan untaian kata mutiaramu laksana ceceran kotoran kambing yang mengering. Bah… Kau memang tengik. Bagaimana aku tidak muntah? Sumpah serapah tak keluar dari mulutku, kau sudah mesti bersyukur.

“Maaf…sekali maaf..ini akan jadi pelajaran berharga bagiku. Lain kali aku takkan ceroboh lagi.” Begitu mohonmu. Aku diam tak menyahut. Perih sekali lukaku ini.
‘Tega sekali kau membunuh kepercayaanku.” Protesku. Kau menunduk penuh penyesalan sedang aku hanya terdiam sampai akhirnya kau pamit pulang.

Kubaca lagi sms yang menjadi sumber kekecewaanku padamu. Kuulang berkali-kali artikel yang kuposting minggu kemarin di sebuah journal online. Artikel yang membuat namaku melambung karena mencapai hit spektakuler di luar dugaan sebelumnya. “Ini kan tulisan biasa.” Jeritku dalam hati. Catatan tentang kenyataan zaman yang berubah cepat tak disertai pengembangan mental ( sosial emosial ) penghuninya. Tentang budaya dekadensi moral yang mengerikan. Semua serba biasa, hanya ungkapan kekhawatiran dan harapan ke depan kepada anak-anak bangsa. Kuulangi lagi dari awal berkali-kali sampai akhirnya aku hapal. Keherananku masih belum terhapus : “Di mana letak kalimat celaanku ?”

Semalaman aku tak bisa tidur. Berpikir keras menemukan jawaban itu. Dari kejuhan sayup –sayup terdengar suara adzan, rupanya subuh telah menjelang. Segera kuambil wudhu dan segera bergabung bersama jama’ah lain. Dalam khusu’ do’aku ku dapat jawaban yang mencerahkan. Ya, aku mulai teringat kejadian dua tahun lalu. Ketika orang itu mengikuti sebuah diklat untuk mendapatkan sertifikat profesinya. Ia kandas ditengah jalan lantaran gangguan emosinya. Sejak itu ia ditetapkan sebagai penderita sensi tingkat tinggi. Suka melamun dan berbicara sendiri. Keinginannya harus segera dituruti dan kadang aneh-aneh mebuat dia tercatat sebagai pasien di klinik kejiwaan.

Astaghfirullahal Adziim, rupanya aku telah terbawa emosi oleh tuduhan  dari seorang yang sebetulnya butuh perhatian dan kasih sayangku. Mengapa aku tanggapi dengan balik menyerang?

Pagi harinya, kembali kau menemuiku, meminta maaf untuk kesekalian kali sambil tetap berjanji untuk tidak mengulangi perkataanmu lagi, meski niatmu bergurau. Aku tahu kau pun tidak sadar kalau yang kau omongi adalah orang dengan kepribadian labil. Tak sadar air mataku menggenang, betapa aku telah menganiaya hatimu. Betapa kejamnya aku menaruh dendam padamu. Kujabat erat tanganmu. Kita kembali tersenyum.
“Dasar, OOT…. Orang gitu dicandain…?” Olokku. Tapi kau nampak begitu ikhlas menerimanya. Karena kau menyadari lontaran candamu salah sasaran. Kita kembali terbahak-bahak, teringat bagaimana mimik orang itu mendengar candamu padanya : “ Nih, kisah sejatimu ditulis Icha di sini,” Canda yang membuat ia terluka. Canda yang membuat ia kambuh pada penyakit lamanya, canda yang membawa petaka. Semoga tidak terulang.

26 komentar:

  1. Saya agak kurang paham loh mbak. Ini cerita rekaan, curhat teman atu curhat mbak Diah.
    Saya lagi pusing banget karena email hilang dan semua monetize blog yang saya bangun hilang dalam sekejab. masih pula dikatakan pembawa sial.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga fiksi asal
      asal tulis, asal pencet keyboard

      Hi...hi...
      pembawa suwal (BAJU)kalee...

      Makasaih ya mbak..
      Met mecar-cari aja, moga berhasil

      Hapus
  2. senyummu bahagiaku
    lukamu perihku
    candamu riangku
    diammu mampusku
    oh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha mas Anam merdu banget tuh suaranya

      Hapus
    2. Oh ini fiksi toh...?? Tapi Saya curiga...apa orang yang dimaksud adalah orang yang diatas sana....??? :D

      Hapus
  3. Memahami... itulah kata kunci dari cerita ini..
    Kita kerap melakukan pertengkaran lantaran tidak memahami apa sebenarnya terjadi.
    Maka, seperti yang dilagukan Sherina, "lihat lebih dekat", kita memang patut melakukannya, sebelum terlibat lebih jauh dalam sebuah kesalahpahaman :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat....
      Kadang kita juga sulit berdamai dengan keadaan
      Sampai akhirnya petaka itu datang

      Makasih Vizon,
      komentmu mencerahkan

      Hapus
    2. sepakat dengan mas Vizon nih.."lihat lebih dekat" bisa mengurangi kesalahpahaman sesuatu...

      dalam fiksi imajinasi memang tak terbatas...salam Bu Icha..

      Hapus
  4. iya ya mba,
    sering banget deh klo udah becandaan bablas
    duh :(
    udahannya baru nyesel.

    BalasHapus
  5. Apalagi yang dicandain orang lagi terganggu kesehatan emosinya
    berabe deh....

    Malam...

    BalasHapus
  6. ini beneran atau fiksi ya... tapi ceritanya bagus... memang harus pintar pintar untuk bicara sama orang ya.. biar tidak sakit hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memangnya cerita apa...
      bener, papak ora podo ho...ho...

      Hapus
  7. jujur aku belum bisa memahami... hhmm... kayaknya harus dibaca ulang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pokoknya sampai hapal...
      kalau masih belum paham berarti yang nulis cerita telah GAGAL

      Hapus
  8. Saleum,
    Gimana tuh soalnya aku paling suka becanda. Mudah2an aja orang yang pernah jadi korban candaanku gak sakit ati.

    BalasHapus
  9. Balasan
    1. Tapi kalau sama saya dijamin bebas tanpa hambatan xixixi..

      Hapus
  10. Kadang kita butuh mengenali karakter orang dulu mbak Icha, biar kita bisa menentukan momentum yang tepat saat bercanda dengan mereka

    Jadi penasaran siapakah orangnya? apakah saya :))

    BalasHapus
  11. Semenanjung Persia menyapa...................!Selamat pagi Jepara,Mas Anam,Sist Icha dan semua pembaca...salam berbahagia.

    BalasHapus