Aku tak mengira kegilaan Wira pada kuliner sudah
mendarahdaging. Gila benar si rambut kriting ini, masak warung mbah Rumi yang
berada di pesisir dan terpencil ia sambangi juga. Kekagumannya pada masakan
mbah Rumi tidak sekedar dibuktikan dalam rumpian antarteman tapi di sela
ngoroknya pun bisa-bisanya mulutnya komat-kamit menyebut salah satu menu
andalan warung mbah Rumi. Ilernya pun meleleh diiringi lengusan kenikmatan.
“Ah, Wira dalam kamus hidupmu memang hanya ada makanan,” Keluhku
sambil menyumpel mullet Wira dengan bantal tengik.
Setahun bersama Wira
and the gang yang 80% anggotanya adalah penikmat kuliner menjadikanku fasih
melafalkan menu-menu mulai yang bertipe aneh
bin sangar sampai yang ndeso sendeso-ndesonya.
^^^^
Siang ini, sepulang kerja kami berlima berencana
membuktikan cerita Wira. Jalan becek, berkubang justru makin meneguhkan tekad kami untuk mendapatkan sesuatu . Keyakinan mendapat imbalan
sebuah kepuasan pulalah yang mengantarkan kami berkilo-kilo meter mencapai
tujuan.
“ Akhirnya…..” Koor dengan kunci F pun tercipta.
Hi..hi…beginikah gelagat orang kelaparan yang
merindukan asupan makanan? Mata berbinar pendirangan
menyaksikan aneka gorengan dan aneka lauk pauk di atas meja penyajian. Opor
kepiting adalah menu favorit yang diwiridkan
Wira selama ini memang tersedia di sana
dan stoknya luar biasa banyak sebanding peminat yang hadir.
Wajah-wajah penuh nafsu bertebaran di mana-mana. Kami berlima mengambil posisi agak di luar
karena sesaknya ruangan sambil menikmati lalu lalang perahu ikan nelayan. Dan
tidak pakai lama pesanan datang menghampiri. Hmmmm…yummy, dari aroma terbayang
kelezatannya.
Tanpa basa-basi segera sikat habis seluruh pesanan.
“Aku ke
belakang dulu ya.” Pamitku pada teman-teman.
Sambil nyengir dan sesekali pencet hidung, aku lalui
jalan semit nan jorok menuju tempat melampiaskan hajat sesuai petunjuk salah satu
pelayan mbah Rumi. Aku berniat kembali bergabung dengan teman-teman melalui
jalan pintas untuk menghindari ruang pengap nan jorok demi menjaga menu yang
sudah masuk ke dalam perut tidak tumpah karena mual terkontaminasi bau plus pemandangan
tak sedap.
Kupilih lewat ruang utama warung itu sambil melirik
menu-menu yang tersaji di meja. Dan, mataku menabrak pemandangan yang sangat tak
terpikirkan sebelumnya. Ha……adakah yang salah dengan penglihatanku?
Berkali-kali aku kucek-kucek mataku yang tidak gatal. Karena pensaran yang
memuncak, aku pastikan saja pada pemilik warung (mbah rumi).
Dasar, mbah Rumi polos banget….Di sini aku berusaha
menahan mualku, tapi dia malah dengan bangga menceritakan wadah-wadah menu
kebanggaannya itu. Katanya pispot-pispot itu ia dapatkan dengan susah
payah di sebuah supermarket dalam rangka
berburu perabot warungnya agar menarik
pengunjung. Oalah, mbah….Tak tahukah dikau bahwa benda itu tidak seharusnya
berada di meja warungmu.
Aku terpaksa berlari kembali ke kamar mandi saking
tak kuatnya aku menahan mual. Kutumpahkan semua isi perut dan langsung berlari
mengambil motor untuk pilang. Masa bodoh
dengan mereka semua yang terheran-heran memandang tingkahku. Aku berjanji sampai
mati tak menceritakan rahasia ini pada siapapun. Biarlah rahasia ini aku pendam
dalam-dalam. Kasihan mbah Rumi jika pelanggannya sampai tahu kalau benda
berbentuk menyerupai mangkuk besar dari keramik itu adalah pispot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar